Minggu, 01 November 2015

Kau... Rusuhkan Batinku

Mungkin bak dipeluk nestapa
Untuk memandang diri sendiri pun malu rasanya
Hampa menghantam jiwa
Alunan nada penyesalan ikut merajam
Melodi penderitaan memekik keras
Menjadi satu bersama penyiksaan batin
Amarah kian memuncak walau kutau itu tak pantas
Diammu semakin membuncahkan rohani
Menusuk jantung dengan puluhan candu rindu
Apa daya rinduku kini tak kau terima
Ulu hati terasa tercabik sembilu beracun
Lambaian tangan terakhirmu semakin mengguncang jiwa
Idiom telah habis untuk dikeluarkan
Dimana rasa ibamu?
Iba itu tak pantas lagi kah untukku?
Nuansa kebencian terpancar hebat
Nistakanlah aku!
Oloklah aku!
Orasi negatif dari matamu terlihat jelas
Rusuhkan batinku

Senin, 20 Juli 2015

Aku, Perempuan Sok Kaya

Hai hai hai Senyum Lebar, kali ini aku mau posting cerpen nih. Nih cerpen udah lama aku bikinnya. Waktu itu ada tugas pelajaran agama yang nyuruh bikin cerpen dengan tema terpaksa berbohong. Sebenernya nih cerpen kayaknya biasa aja sih. Tapi ya daripada disimpen sendiri ampe berdebu kan mending dibagi-bagi ya. Selamat membacaaaa :*

Aku, Perempuan Sok Kaya

“Len, lu aja deh yang ke kantin, gue males jalan nih, capek habis lari tadi,” dengan santainya mereka menyuruhku kemana saja yang mereka mau, aku hampir tak paham dengan cara pikir mereka. Mereka kelelahan setelah lari enam ratus meter saat pelajaran olahraga tadi. Namun, apakah mereka buta? Apakah mereka tidak melihat aku juga berada disana saat jam pelajaran olahraga? Apakah mereka mengira aku tidak ikut lari? Atau jangan-jangan mereka mengira aku adalah robot yang tak pernah kelelahan? Mengapa menyuruh aku dan aku? Lagi-lagi aku yang kalian suruh, apa kalian menggajiku dengan sekoper uang dollar?
            Aku memang bodoh, hanya bisa mengomel dan terus mengomel di dalam hati saat menerima perlakuan seperti itu, sedangkan wajahku, menunjukkan senyum ikhlas bak bidadari pelayan surga. Siapa mereka jadi aku hanya bisa pasrah menerimanya? Uh, mereka adalah orang-orang yang sampai sekarang ini masih kuanggap sahabat. Tapi entahlah bagi mereka, mungkin mereka hanya menganggapku sekedar babu, atau mungkin bahan daur ulang yang saat terpakai akan digunakan dan saat tidak terpakai akan dibuang.
            Di perjalanan ke kantin aku hanya merunduk lesu. Aku teringat awal mula berubahnya sikap mereka terhadapku. Semuanya diawali sejak perusahaan ayahku bangkrut dan keluargaku jatuh miskin. Rumahku beserta isinya disita dan diambil oleh pihak bank. Terkadang aku benci dengan ayahku yang dengan mudahnya meminjam uang dan berpikir bisa melunasi semua hutang-hutang itu di saat perusahaannya yang sedang berada di ujung tanduk hampir gulung tikar. Sekarang aku hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil dengan lantai tanah yang beralaskan tikar, bukan lagi rumah mewah berlantai paduan granit dan marmer yang beralaskan permadani tebal dan lembut. Saat aku menatap langit-langit pun yang kulihat hanyalah susunan genteng tak beraturan yang saat hujan akan menitikkan butiran air dari celah-celah genteng bocornya. Miris memang hidupku saat ini.
            Di hari itu, orang-orang yang selalu mengaku bahwa aku adalah sahabat sejati terbaik mereka datang ke rumahku. Aku sengaja mengajak mereka mampir ke rumah agar mereka bisa tahu dimana rumahku yang sekarang. Ya biar mereka bisa datang kapanpun mereka mau tanpa harus meneleponku terlebih dahulu hanya untuk menanyakan “rumah lu yang mana sih?”. Tapi hari ini mereka terlihat berbeda dari biasanya. Mereka yang dulu betah berjam-jam di rumahku yang bak istana dan dipenuhi hawa sejuk dari AC yang berada di setiap ruangan, sekarang hanya bisa bertahan beberapa menit di rumah baruku yang pengap. Ya aku menyadari itu, mereka selalu berusaha menampilkan senyum palsunya selama aku berada di samping mereka. Tapi aku sahabat mereka sejak SMP ini tidak bisa dibohongi. Aku bisa membedakannya dan aku tau senyuman itu palsu. Beberapa menit setelah mereka menghabiskan minumannya, mereka pun berdiri. “Len, kami pulang dulu ya, mau ngerjain PR fisika dulu nih, takut nggak sempet nantinya,” Maya berbicara mewakili mereka.
            Aku tau itu hanya akal-akalan mereka saja, mereka yang cuek dengan PR pulang dengan alasan PR? Kalian pikir aku bisa dibodohi seperti itu? Kalian kan biasanya menyalin tugas-tugas sekolahku sebelum semua ku kumpulkan ke guru mata pelajaran. Aku mengomel di dalam hati, tapi bibirku menarik senyuman riang bak aktris di film Hollywood, tidak akan ada yang tahu apakah itu senyum ikhlas atau hanya sekedar akting untuk menutupi kesakitan. “Oh iya, hati-hati di jalan. Kapan-kapan mampir lagi ya, yang lama kaya biasanya,” aku memasang wajah polos seakan tak tahu bahwa mereka jijik dengan rumah baruku. “Iya Len, kapan-kapan ya. Kelas XII ini kami banyak jadwal les privat sih,” Keyla menyahuti omongan basa-basiku dengan alasan yang tak kalah basi.
            Keesokan harinya, aku tiba di sekolah dengan diantar motor butut ayahku, bukan lagi sebuah mobil BMW kebanggaan ayahku biasanya. Aku yang memang tidak mementingkan uang dan kemewahan tiba di sekolah dengan wajah santai tanpa gengsi sedikit pun. Apa-apaan ini? banyak orang yang menatapku dengan aneh. Apakah bedakku tidak rapi? Apakah goresan lipglossku keluar melebihi bibirku? Atau mereka tidak ingat dengan wajahku setelah aku tidak masuk satu minggu? Please, berhenti menatapku seperti itu.
“Kak Leni, ayahnya sibuk banget ya? Kok dianterin pake ojek butut gitu? Kenapa nggak naik taksi aja?” anak kelas X yang satu ekskul denganku itu menegurku. Ah sekarang aku baru sadar, mereka bukan menatapku, mereka menatap motor butut yang mengantarku. Mereka memang tidak tau persis bagaimana wajah ayahku, mereka biasanya hanya melihatku turun dari sebuah mobil mewah dan ayahku langsung pergi tanpa membuka kaca mobilnya, makanya mereka tidak tahu kalau yang menggunakan motor butut itu adalah ayahku. Aku hanya membalas pertanyaan mereka dengan tawa kecilku. Sebagian dari mereka menganggap aku tertawa karena lucu melihat diriku ke sekolah menaiki ojek dengan motor butut, dan sebagian dari mereka tidak peduli kenapa aku tertawa. Mungkin tidak ada seorang pun yang tahu bahwa tawaku itu adalah karena aku berpikir mereka lucu, mengira itu ayahku saat beliau memakai mobil mewah dan mengira itu tukang ojek saat beliau memakai motor butut. Mungkinkah seseorang itu dapat dinilai dari alat transportasi yang dipakainya?
Aku ingat betul dengan hari itu, hari pertama aku masuk sekolah setelah satu minggu absen karena terkena imbas dari kesibukan ayahku mengurus dirinya yang baru saja bangkrut. Di hari itu sahabat-sahabatku terlihat berusaha menjauhiku, aku tidak punya teman seharian ini. Bagaimana dengan teman-temanku yang lain? Teman-teman satu kelasku? Oh iya, aku memang sudah dari dulu dijauhi oleh mereka karena aku tergabung dengan sahabat-sahabatku yang suka mengejek para kaum menengah ke bawah. Hei teman, aku tidak seperti mereka, aku hanya sahabat mereka, bukan mereka. Aku ya aku, mereka ya mereka. Ingin rasanya aku berkata seperti itu. Tapi, apa boleh buat, mereka tidak mungkin mau menerimaku sebagai teman karena aku memang selalu mencueki mereka dari awal masuk sekolah ini. Itu pun memang karena mereka pernah meneriakiku “Woy ada orang kaya salah masuk sekolah! Lu harusnya ada di sekolah swasta bertaraf internasional. Lu kurang duit apa kurang pinter?”
Tuhan, kenapa aku dikucilkan seperti ini? Apa ini memang hukum persahabatan? “Yang mendadak miskin akan mendadak dijauhi” aku hanya bisa meratap sambil bersandar di jendela kamarku yang tidak bisa dibuka lagi karena kuncinya yang berkarat.
@@@
Satu bulan dikucilkan, aku pun merindukan diriku yang dulu dikelilingi oleh empat gadis cerewet itu. Aku yang dulu sering menemani dan mentraktir mereka di kantin, sekarang malah tidak pernah diajak ke kantin. Selama satu bulan ini mereka mendekatiku saat ada tugas atau PR yang belum mereka kerjakan saja, sungguh gila kelakuan mereka. Tapi entah kenapa, tetap saja aku masih sayang dan ingin berteman dengan mereka seperti biasa. Karena itu, aku pun bertekad kuat, aku akan melakukan apapun asalkan sahabat-sahabatku kembali kepadaku.
Sejak saat itu, setiap mereka kelelahan menulis aku akan melanjutkan catatan mereka. Aku mengerjakan semua yang mereka suruh. Setiap mereka malas berjalan ke kantin, aku akan membelikan apapun yang mereka mau dengan uang mereka yang ku lihat tidak begitu banyak. Pantas saja saat aku masih memiliki kekayaan yang berlimpah mereka selalu mendekatiku, mungkin mereka hanya memanfaatkanku. Tapi saat aku galau tahun lalu karena pacarku selingkuh, mereka selalu ada di  sampingku untuk menenangkanku, mereka memang sahabatku kan? Ah aku capek berdebat dengan diriku sendiri. Lebih baik aku menyelesaikan tugas dari sahabat-sahabatku ini ketimbang nanti aku akan dijauhi mereka lagi.
Berbulan-bulan ku lalui ini. Semester satu di kelas XII kujalani dengan sangat berat. Setiap ada makalah perorangan aku akan mengerjakan lima makalah sekaligus agar aku tak perlu mengeluarkan uang untuk memprint makalahku. Tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam aku juga ingin kembali ke hidupku yang normal seperti dulu. Tidak perlu menjadi babu agar bisa punya sahabat
@@@
“Leni, kamu mikirin opo to? Ngelamun aja dari tadi. Kamu mau beli apa? Barusan bel masuknya bunyi lo Len,” bibi kantin dengan logat Jawa kentalnya membuyarkan lamunanku. Aku langsung tersadar dan membeli semua yang disuruh oleh sahabat-sahabaku. Sepersekian detik setelah uang kembaliannya ku terima, aku langsung bergegas pergi menuju kelasku.
Benar saja, sahabat-sahabatku sudah menungguku dengan tatapan kesal. Apa-apaan ini? Kalian sudah menyuruhku di hari yang panas dan melelahkan ini, aku capek setelah pengambilan nilai PJK tadi, dan aku capek setelah membawa makanan kalian berempat yang sebegitu banyak. Kenapa kalian malah menatapku seperti singa agresif yang anaknya akan kucuri?
Aku berusaha menenangkan diriku dan tetap tersenyum. Sedangkan sahabat-sahabatku mengomel karena aku terlalu lambat membelikan makanan untuk mereka. Mereka terlihat seperti singa lapar yang siap mencabik-cabik seluruh badanku. Seisi kelas pun tercengang kaget melihat kelakuan sahabat-sahabatku.
Di antara mereka ada yang berbisik-bisik membicarakanku yang terlihat seperti budak. Rupanya seluruh kelas sudah menyadari perubahan sikap sahabat-sahabatku terhadapku. Kukira mereka tidak mempedulikan kami seperti kami yang tidak pernah mempedulikan mereka. Ternyata aku salah besar. Satu yang ku dapat hari ini, mereka itu terlalu mengurusi kehidupan kami.
@@@
            Aku sudah muak dengan semua ini, aku lelah selalu dijadikan budak mereka karena aku terlalu sayang dan tidak punya teman selain mereka. Aku pun memikirkan cara agar aku bisa kembali seperti dulu. Tiba-tiba terlintas di pikiranku akal busuk yang mungkin akan mengembalikan teman-temanku dan mengembalikan kesejahteraanku. Aku teringat bahwa sahabat-sahabatku selalu datang ke rumahku saat ayah dan ibuku bekerja, mereka tidak pernah melihat ayah dan ibuku. Kesempatan ini akan kugunakan untuk membalikkan keadaan.
            Aku berlari ke ruang tamu untuk menemui ibuku, kebetulan ayahku masih di restoran tempat kerja barunya. Dia diterima menjadi koki dengan ijazah SMK-nya yang berjurusan Tata Boga. “Bu, Leni capek harus jalan kaki terus ke sekolah. Rumah kita kan jauh dari sekolah, Bu. Setiap hari Leni harus berangkat jam setengah tujuh pagi, itu berat banget, Bu” aku menatap ibuku dengan tatapan memelas. “Lalu kamu mau gimana Len? Kita belum punya uang buat beli sepeda kamu,” ibuku terlihat bingung. “Leni mau pindah ke rumah Mama Dewi aja Bu, kan lumayan jaraknya hanya satu kilometer dari sekolahku,” mataku berusaha meyakinkan ibuku.
Mama Dewi, dia adalah adik dari ibuku. Aku lebih suka menyebutnya Mama Dewi ketimbang Tante Dewi. Aku dan beliau sangat akrab seperti ibu dan anak sejak aku kecil. Beliau sudah dua belas tahun berumah tangga dan belum mempunyai keturunan. Bahkan tanda-tanda kehamilan pun tidak pernah ditunjukkan oleh perutnya. Makanya beliau sangat menyayangiku dan menganggapku seperti anaknya sendiri. Beliau sering memintaku ke rumahnya untuk menemaninya, bahkan seringkali juga aku tidak diperbolehkan pulang dan disuruh tinggal menetap di sana.
Saat ayah datang, ibuku pun mengutarakan niatku untuk pindah ke rumah Mama Dewi. Setelah lama berpikir, akhirnya orang tuaku memperbolehkanku pindah ke rumah Mama Dewi. Selain agar aku tidak kelelahan lagi, hal itu juga untuk kebahagiaan adiknya yang kerap kali kesepian karena ditinggal suaminya berbisnis ke luar kota dan luar negeri itu.
@@@
“Teman-teman, kekayaan ayahku udah kembali lagi, nggak bangkrut lagi. Dan aku udah dapet rumah baru,” aku berbicara seolah-olah sedang kegirangan dan berusaha membuat omonganku menjadi sangat meyakinkan. Tepat sekali dengan dugaanku, sahabat-sahabat matreku terlihat antusias mendengarkan omonganku. Sejak saat itu sikap mereka mulai membaik kepadaku.
Kira-kira satu minggu setelah perbudakan dihentikan, teman-temanku bertanya dimana rumahku yang sekarang. “Leni, hari ini lu dijemput nggak? Gue anterin ya, kita belajar sama-sama di rumah lo, sekalian mau liat rumah baru lo. Mumpung bensin gue full nih,” Feby terlihat cengengesan.
Ingin rasanya aku menampar wajah mereka yang dipenuhi aura penghianat ini. Tapi apa daya, aku sangat menyayangi mereka, sungguh berat bagiku melepas empat sahabat yang sudah bersamaku sejak SMP ini.
Setibanya di rumah Mama Dewi, sahabat-sahabatku melongo menatap sekelilingnya, sungguh surga dunia. Mereka tidak sabar cepat-cepat ke kamarku untuk menikmati kamar surga yang mungkin belum pernah mereka cium aromanya.
Setelah memasuki kamarku, mereka duduk sambil memandangi pajangan-pajangan yang merekat erat dinding  kamarku. Di sisi kanan dan kiri mereka terdapat banyak foto kami berlima sejak SMP sampai sekarang. Sepersekian detik kemudian, mereka terdiam dan menatap lekat-lekat dua tipografi cantik yang terpajang di dinding tengah kamarku. Pada tipografi yang pertama tertulis, “Tetap pertahankan sahabat terbaikmu sampai kapan pun selama mereka tidak licik dan hanya memanfaatkan kelebihanmu”. Sedangkan pada tipografi kedua tertulis, “Tetapi aku akan mempertahankan sahabatku selicik apapun mereka karena aku sudah terlalu sayang mereka
Mereka berempat saling bertukar pandang. Mungkin mereka sudah sadar bahwa selama ini aku mengetahui kelicikan mereka. Maya pun angkat bicara, “Len, gue tau yang bikin tipografi itu lo kan? Gue ngaku gue licik, gue nggak tau lo itu bisa sesabar dan sesayang itu sama kami. Kami mengira lo itu cuma cewek polos yang begitu mudahnya dimanfaatkan. Kami ngerasa lo itu nggak pantes gabung jadi temen kami karena kepolosan lo itu. Ternyata kami salah, ternyata lo gini ke kami karena lo bener-bener sayang kami, bukan karena lo bodoh. Gue minta maaf ya,” Maya terlihat menitikkan air matanya. Entahlah, aku pun tak tahu apakah itu air mata sungguhan atau hanya air mata buaya karena takut kehilangan uangku. Tapi setahuku saat Maya berpura-pura menangis tidak seperti itu. Mungkin kali ini dia menangis sungguhan.
Aku terkejut, beberapa detik setelah Maya mengucapkan maaf, Keyla, Feby dan Mega ikut meminta maaf dan memelukku secara bersamaan. Untuk hari ini aku masih tidak percaya mereka bisa berubah sebegitu cepatnya.

Sebulan setelah kejadian itu, mereka tetap bersikap baik kepadaku dan tak pernah lagi menuntut traktiran. Mungkin mereka sudah benar-benar baik dan berubah berkat tipografiku. Tapi sampai detik ini aku tidak akan memberitahu bahwa itu adalah rumah Mama Dewi, bukan rumahku yang sebenarnya. Aku tidak ingin perbudakan itu kembali lagi ke kehidupanku.

==Selesai==

Kisah Bahasa Banjar Beserta Amanatnya

Beberapa sekolah di Kalimantan Selatan masih banyak yang mempunyai ekskul Bahasa Banjar. Terkadang guru pengajar meminta para pelajarnya mencari cerita dalam bahasa Banjar lengkap dengan amanatnya. Nah karena itu lah saya mau mencoba memposting cerita yang (menurut saya pun) cukup garing namun sarat dengan amanat ini. Semoga bisa membantu ya untuk tugas kalian Berkedip
Habis di Hidung
Kisahnya ni kaini. Ada sabuah kaluarga nang miskin banar di Dusun Hujung nang jauh dari kuta. Kapala kaluarganya bangaran Paman Amat. Eh kada tahu nah ulun sidin ni disambat kapala kaluarga atau kada, napang sidin ni kada tapian mau bagawi. Yang bagawi tuh bini sidin pang maambilupah manapasakan baju urang. Amun Paman Amat tu hakun bamasak sidin daripada bagawi. Maka Paman Amat ni kada tapi tahu jua sidin lawan agama, di KTP banar ai batulisan Islam. Kasian haja ah anak bini sidin.
Di rumahnya tuh urangnya batujuh, sidin, bini sidin, lawan anak sidin lima ikung. Anak sidin nang pamulaan nih ngarannya Utuh Gaul, sudah ngaran pina maalay banar kaya ngaran pesbuk, muhanya kada tapi bungas ha pulang. Tahulah buhan pian, Utuh Gaul tu kada gelaraan, ngitu ngaran asli di akta. Han kisah kegaulan banar kalo abahnya ngini, hidup di ujung dusun iya to kisah gaul. Si Utuh Gaul ni kasian haja pang, sangu tu limaratus haja sahari, padahal sudah kalas lima SD. Sudah kada tapian ada baduit, muha kada bungas, awak hirang latat, bantat pulang.
Jadi di hari ngitu si Utuh Gaul ni malihat kawan sakalasnya nang bangaran Udin ni mamaraki binian, bahiri jua inya. Si Udin kawannya Utuh Gaul ni urangnya sugih, putih, bungas ha pulang, jadi binian nang diparakinya ni pina lihum-lihum salang tingkah ai.
Lalu babisik ai Utuh Gaul ka kawannya nang bangaran Anang, “Nang, aku handak jua nang kaya Udin tuh, kaya urang rancak di tipi-tipi tuh, ada kelo sinitrun2 nang rami biasanya tuh” jarnya. Jadi tatawaai Anang. “Hau kanapa ikam tatawa Nang, aku kada balawakan,” jar Utuh. “Kadanya keitu pang Tuh ai. Udin tu bungas, putih, sugih, jadi wajar ai keitu. Nah ikam hirang iya banar lutung handak jua lah memaraki binian?” Ujar Anang banyaring sampai kadangaran urang sakalasan. Lalu tatawaan ai sakalasan mandangar ucapan Anang. Lalu sakalasan umpat maurahakan Utuh, “Utuh hirang kaya lutung, utuh hirang kaya lutung,” jar kakawanannya baimbaian. Tadiam ai Utuh kasasupanan. Handak sarik kada wani jua malawani urang sakalasan. Jadi hari ngitu Utuh badiam aja saharian mulai pagi sampai pambulikan sakulah.
Mbah luncing bulikan sakulah babunyi, bahancapai si Utuh ni bukah-bukah bulik ka rumah.
Di rumah ni Paman Amat lagi mangguringakan anak sidin nang paling halus sambil manyanyiakan supaya mau lakas taguring. Paman Amat ni sadang haja jua pang urangnya. Manggurikan anak tu jaka pang disya’irakan kaya urang bemaulitan rancak tuh kah, atau sambil “Laa ilaaha illallah” kah bagus jua kalo. Ini kada, sambil mangguringakan tuh sambil banyanyi “sudah mabuk minuman, ditambah mabuk judi, masih saja abang tergoda janda kembang…” keitu. Bebaya Anabel tekelap, Utuh gaul masuk ka rumah sambil bukah bakuciak kada sing salam-an, langsung “Abaaaaaaaaaaah..!!” ujarnya. Lalu takalipik ai adingnya tadi, manangis langsung inya takajut. Sarik ai Paman Amat nih, “Utuh ngini datang ka rumah kada behalau-halau hai-hai lagi, jaka pang masuk rumah tu ekskusme kah, dedi em kaming kah, ngini kuciak-kuciak handak manangis kaitu, nih yor sister manangis nah” Ujar Paman Amat kada tetahu muha. “Agak pian nih bah ai, ulun sadih nah, sadih, em so sed, em so sed” ujar Utuh banyanyi lagu Maroon5. “Sadih kanapa pulang ikam Tuh?” Ujar Abahnya. “Pukuknya ulun handak suntik putih! Handak sugih! Handak uprasi palastik supaya bungas!” Ujar Utuh. “Ai nah kanapa ikam. Aja kena aku manyuntik ikam pakai cat air nang warna putih tu, kalu pang mau baputih. Amun handak uprasi palastik tuh nah uma ikam banyak baisian palastik gula lawan palastik nang bakas manukar minyak lamak tuh,” ujar Abahnya kada tetahu muha. Lalu banyaring ai si Utuh Gaul manangis.
Umanya nang mulai tadi batatapas di balakang langsung ka luar mandangar urang pina abut-abut. “Kanapa ikam manangis Tuh?” ujar Umanya. “Nih si Utuh handak sugih jar, handak suntik putih lawan uprasi palastik supaya babungas,” ujar Paman Amat mangisahakan. “Ai ikam, aku gin handak jua mulai bahari jaka baduit, bagawi ai dulu ikam supaya sugih. Jangan kaya abah ikam nih,” ujar Umanya salajur manyinggung. Dipusuti umanya balakang Utuh nang lagi manangis nih.
Tapi ngarannya utuh ni karas, tatap ai Si Utuh manangis. “Pukuknya ulun handak!” ujar Utuh. “Nah ulun ada dipadahi kawan ulun samalam Bah ai, ada dukun nang bagana di parak sungai hujung dusun kita nih, cubai pang kasana. Ujar kawan ulun disana lagi diskun 80%,” jar bini Paman Amat. “Ayu kasi nah Tuh, kita kasana wahinian,” ujar Paman Amat.
“Ngaran ikam pasti Amat lawan Utuh Gaul kalo?” Ujar dukun nih. “Inggih bujur,” jar Paman Amat. “Dasar sakti dukunnya ngini, tahu ngaran kita,” Ujar Paman Amat mamandiri Utuh. “Hiih Bah ai,” ujar Utuh pina manunduk lawan dukunnya. Jadi dalam hati dukun nih, “aku toh sakampung lwn ikam. Bahari pas ikm hnyar pindah sampat bakanalan lawan aku. Kada ingat kah ikam,” tapi dukun ni tatawa aja, kd handak mamadahi pada pernah bakanalan.
Mbah bulik matan rumah dukun, Paman Amat ni dapat tiga biji batu nang kawa mangabulakan apa haja nang dikahandaki bila ditimbaiakan ampah ka langit sambil manguciakakan apa nang dikahandaki. Langsung ai Paman Amat ni mancubai, “Tuh, kita baimbaian lah bakuciak handak sugih, kena nang kadua hanyar bakuciak bungas, nang katiga kena hanyar putih” ujar sidin. “Inggih bah ai,” Ujar Utuh. *betungak* “HANDAK SUGIIIIIIIH..” Ujar nang badua nih. “HIDUNG HIDUNG HIDUNG,” jar Paman Amat malihat Utuh pina batungak banar, takutan ai sidin kalopina kana hidung Utuh Gaul, jadi sambatan sidin nang “handak sugih” tadi tasambung lawan “hidung hidung hidung” tadi. Habis am Muha sidin lawan anak sidin hibak hidung haja. Napang sugih hidung kalu jar tadi.
“Uma bah, magin kd bungas ulun kaini,” ujar Utuh pina pusang. “Aja aja ini ikam jangan umpat batungak lagi lah. Aku ja nang bakuciaknya nah,” ujar Paman Amat. “HILANGAKAN HIDUUUUNG!” ujar Paman Amat bakuciak. Sakalinya napa nah? Hidung sidin nang di muha hilangan, sampai nang asli ja kadeda lagi, kada bahidung lagi nang badua baranak nih. “Uma bah, magin ngeri ulun kaini,” ujar Utuh magin pusang. “Ay maap nak, maap. Aja baasa nah aku maminta hidung. BULIKAKAN HIDUNG KAMI SABUTING!” ujar paman Amat. “Bah nang tadi tu batu nang tarakhir kalu? Umaaa ulun kada jadi bungas lah, pian ngini pang. Maka duit SPP sakulah ulun dipakai ha pulang gasan ka dukun. Sugih kada jadi, bungas kada jadi, putih kada jadi jua te. Kakayaini ai kita. Mbah tu pang kayapa ulun bayar SPP?!” Pusang banar si Utuh mamikirakan hidupnya nang pina kada kakaruan gara-gara dukun.
Amanat:
  • Jangan pengoler begawi, apalagi ngitu dasar kewajiban sorang sabagai kapala kaluarga
  • Bila hdk sugih tu bedoa ke Allah  supaya dibari sidin rejeki lawan jua harus bausaha tarus supaya kawa lakas sugih, jgn ke dukun
  • Mun hdk bungas tu rancaki membaca sholawat lawan bewudhu jar
  • Mun hdk putih jgn bepanas ai, jangan pengoler mandi :&
  • Mengarani anak tu yang bagus, supaya kada menyupani anaknya. Lawan jua cari yang artinya bagus wan barmutu, jangan kaya Utuh Gaul
  • Batasi anak manuntun TV yg acaranya bisa marusak akhlak inya. Labih baik jngan dibolehakan nonton sinetron yg bapacaran2 tuh, kada bagus gasan kakanakan apalagi masih SD kaya Utuh Gaul nih
  • Anak tu dilajari agama mulai lagi bayi. Pas inya guring tu labih baik disyairakan syair2 agama daripada lagu dangdut. Harau am ganalnya jadi kecintaan lawan dangdut aja

Nah itu aja ceritanya, semoga membantu dan menghibur ya Tersipu