Hai hai hai
, kali ini aku mau posting cerpen nih. Nih cerpen udah lama aku bikinnya. Waktu itu ada tugas pelajaran agama yang nyuruh bikin cerpen dengan tema terpaksa berbohong. Sebenernya nih cerpen kayaknya biasa aja sih. Tapi ya daripada disimpen sendiri ampe berdebu kan mending dibagi-bagi ya. Selamat membacaaaa :*
Aku, Perempuan Sok Kaya
“Len, lu aja deh yang ke kantin, gue males
jalan nih, capek habis lari tadi,” dengan santainya mereka menyuruhku kemana
saja yang mereka mau, aku hampir tak paham dengan cara pikir mereka. Mereka
kelelahan setelah lari enam ratus meter saat pelajaran olahraga tadi. Namun,
apakah mereka buta? Apakah mereka tidak melihat aku juga berada disana saat jam
pelajaran olahraga? Apakah mereka mengira aku tidak ikut lari? Atau
jangan-jangan mereka mengira aku adalah robot yang tak pernah kelelahan?
Mengapa menyuruh aku dan aku? Lagi-lagi aku yang kalian suruh, apa kalian
menggajiku dengan sekoper uang dollar?
Aku
memang bodoh, hanya bisa mengomel dan terus mengomel di dalam hati saat
menerima perlakuan seperti itu, sedangkan wajahku, menunjukkan senyum ikhlas
bak bidadari pelayan surga. Siapa mereka jadi aku hanya bisa pasrah
menerimanya? Uh, mereka adalah orang-orang yang sampai sekarang ini masih
kuanggap sahabat. Tapi entahlah bagi mereka, mungkin mereka hanya menganggapku
sekedar babu, atau mungkin bahan daur ulang yang saat terpakai akan digunakan dan
saat tidak terpakai akan dibuang.
Di
perjalanan ke kantin aku hanya merunduk lesu. Aku teringat awal mula berubahnya
sikap mereka terhadapku. Semuanya diawali sejak perusahaan ayahku bangkrut dan
keluargaku jatuh miskin. Rumahku beserta isinya disita dan diambil oleh pihak
bank. Terkadang aku benci dengan ayahku yang dengan mudahnya meminjam uang dan
berpikir bisa melunasi semua hutang-hutang itu di saat perusahaannya yang sedang
berada di ujung tanduk hampir gulung tikar. Sekarang aku hanya tinggal di
sebuah kontrakan kecil dengan lantai tanah yang beralaskan tikar, bukan lagi
rumah mewah berlantai paduan granit dan marmer yang beralaskan permadani tebal
dan lembut. Saat aku menatap langit-langit pun yang kulihat hanyalah susunan
genteng tak beraturan yang saat hujan akan menitikkan butiran air dari
celah-celah genteng bocornya. Miris memang hidupku saat ini.
Di hari
itu, orang-orang yang selalu mengaku bahwa aku adalah sahabat sejati terbaik
mereka datang ke rumahku. Aku sengaja mengajak mereka mampir ke rumah agar
mereka bisa tahu dimana rumahku yang sekarang. Ya biar mereka bisa datang
kapanpun mereka mau tanpa harus meneleponku terlebih dahulu hanya untuk
menanyakan “rumah lu yang mana sih?”. Tapi hari ini mereka terlihat berbeda
dari biasanya. Mereka yang dulu betah berjam-jam di rumahku yang bak istana dan
dipenuhi hawa sejuk dari AC yang berada di setiap ruangan, sekarang hanya bisa
bertahan beberapa menit di rumah baruku yang pengap. Ya aku menyadari itu,
mereka selalu berusaha menampilkan senyum palsunya selama aku berada di samping
mereka. Tapi aku sahabat mereka sejak SMP ini tidak bisa dibohongi. Aku bisa
membedakannya dan aku tau senyuman itu palsu. Beberapa menit setelah mereka
menghabiskan minumannya, mereka pun berdiri. “Len, kami pulang dulu ya, mau
ngerjain PR fisika dulu nih, takut nggak sempet nantinya,” Maya berbicara
mewakili mereka.
Aku tau
itu hanya akal-akalan mereka saja, mereka yang cuek dengan PR pulang dengan
alasan PR? Kalian pikir aku bisa dibodohi seperti itu? Kalian kan biasanya
menyalin tugas-tugas sekolahku sebelum semua ku kumpulkan ke guru mata
pelajaran. Aku mengomel di dalam hati, tapi bibirku menarik senyuman riang bak aktris
di film Hollywood, tidak akan ada yang tahu apakah itu senyum ikhlas atau hanya
sekedar akting untuk menutupi kesakitan. “Oh iya, hati-hati di jalan.
Kapan-kapan mampir lagi ya, yang lama kaya biasanya,” aku memasang wajah polos
seakan tak tahu bahwa mereka jijik dengan rumah baruku. “Iya Len, kapan-kapan
ya. Kelas XII ini kami banyak jadwal les privat sih,” Keyla menyahuti omongan
basa-basiku dengan alasan yang tak kalah basi.
Keesokan
harinya, aku tiba di sekolah dengan diantar motor butut ayahku, bukan lagi
sebuah mobil BMW kebanggaan ayahku biasanya. Aku yang memang tidak mementingkan
uang dan kemewahan tiba di sekolah dengan wajah santai tanpa gengsi sedikit
pun. Apa-apaan ini? banyak orang yang menatapku dengan aneh. Apakah bedakku
tidak rapi? Apakah goresan lipglossku keluar melebihi bibirku? Atau mereka
tidak ingat dengan wajahku setelah aku tidak masuk satu minggu? Please,
berhenti menatapku seperti itu.
“Kak Leni, ayahnya sibuk banget ya? Kok
dianterin pake ojek butut gitu? Kenapa nggak naik taksi aja?” anak kelas X yang
satu ekskul denganku itu menegurku. Ah sekarang aku baru sadar, mereka bukan
menatapku, mereka menatap motor butut yang mengantarku. Mereka memang tidak tau
persis bagaimana wajah ayahku, mereka biasanya hanya melihatku turun dari
sebuah mobil mewah dan ayahku langsung pergi tanpa membuka kaca mobilnya,
makanya mereka tidak tahu kalau yang menggunakan motor butut itu adalah ayahku.
Aku hanya membalas pertanyaan mereka dengan tawa kecilku. Sebagian dari mereka
menganggap aku tertawa karena lucu melihat diriku ke sekolah menaiki ojek
dengan motor butut, dan sebagian dari mereka tidak peduli kenapa aku tertawa.
Mungkin tidak ada seorang pun yang tahu bahwa tawaku itu adalah karena aku
berpikir mereka lucu, mengira itu ayahku saat beliau memakai mobil mewah dan
mengira itu tukang ojek saat beliau memakai motor butut. Mungkinkah seseorang
itu dapat dinilai dari alat transportasi yang dipakainya?
Aku ingat betul dengan hari itu, hari pertama
aku masuk sekolah setelah satu minggu absen karena terkena imbas dari kesibukan
ayahku mengurus dirinya yang baru saja bangkrut. Di hari itu sahabat-sahabatku
terlihat berusaha menjauhiku, aku tidak punya teman seharian ini. Bagaimana
dengan teman-temanku yang lain? Teman-teman satu kelasku? Oh iya, aku memang sudah
dari dulu dijauhi oleh mereka karena aku tergabung dengan sahabat-sahabatku
yang suka mengejek para kaum menengah ke bawah. Hei teman, aku tidak seperti
mereka, aku hanya sahabat mereka, bukan mereka. Aku ya aku, mereka ya mereka.
Ingin rasanya aku berkata seperti itu. Tapi, apa boleh buat, mereka tidak
mungkin mau menerimaku sebagai teman karena aku memang selalu mencueki mereka
dari awal masuk sekolah ini. Itu pun memang karena mereka pernah meneriakiku
“Woy ada orang kaya salah masuk sekolah! Lu harusnya ada di sekolah swasta
bertaraf internasional. Lu kurang duit apa kurang pinter?”
Tuhan, kenapa aku dikucilkan seperti ini? Apa
ini memang hukum persahabatan? “Yang mendadak miskin akan mendadak dijauhi” aku
hanya bisa meratap sambil bersandar di jendela kamarku yang tidak bisa dibuka
lagi karena kuncinya yang berkarat.
@@@
Satu bulan dikucilkan, aku pun merindukan
diriku yang dulu dikelilingi oleh empat gadis cerewet itu. Aku yang dulu sering
menemani dan mentraktir mereka di kantin, sekarang malah tidak pernah diajak ke
kantin. Selama satu bulan ini mereka mendekatiku saat ada tugas atau PR yang
belum mereka kerjakan saja, sungguh gila kelakuan mereka. Tapi entah kenapa,
tetap saja aku masih sayang dan ingin berteman dengan mereka seperti biasa.
Karena itu, aku pun bertekad kuat, aku akan melakukan apapun asalkan
sahabat-sahabatku kembali kepadaku.
Sejak saat itu, setiap mereka kelelahan
menulis aku akan melanjutkan catatan mereka. Aku mengerjakan semua yang mereka
suruh. Setiap mereka malas berjalan ke kantin, aku akan membelikan apapun yang
mereka mau dengan uang mereka yang ku lihat tidak begitu banyak. Pantas saja
saat aku masih memiliki kekayaan yang berlimpah mereka selalu mendekatiku,
mungkin mereka hanya memanfaatkanku. Tapi saat aku galau tahun lalu karena
pacarku selingkuh, mereka selalu ada di
sampingku untuk menenangkanku, mereka memang sahabatku kan? Ah aku capek
berdebat dengan diriku sendiri. Lebih baik aku menyelesaikan tugas dari
sahabat-sahabatku ini ketimbang nanti aku akan dijauhi mereka lagi.
Berbulan-bulan ku lalui ini. Semester satu di kelas XII kujalani dengan sangat berat. Setiap
ada makalah perorangan aku akan mengerjakan lima makalah sekaligus agar aku tak
perlu mengeluarkan uang untuk memprint makalahku. Tapi dari lubuk hatiku yang
paling dalam aku juga ingin kembali ke hidupku yang normal seperti dulu. Tidak
perlu menjadi babu agar bisa punya sahabat
@@@
“Leni, kamu mikirin opo to? Ngelamun aja dari
tadi. Kamu mau beli apa? Barusan bel masuknya bunyi lo Len,” bibi kantin dengan
logat Jawa kentalnya membuyarkan lamunanku. Aku langsung tersadar dan membeli
semua yang disuruh oleh sahabat-sahabaku. Sepersekian detik setelah uang
kembaliannya ku terima, aku langsung bergegas pergi menuju kelasku.
Benar saja, sahabat-sahabatku sudah menungguku
dengan tatapan kesal. Apa-apaan ini? Kalian sudah menyuruhku di hari yang panas
dan melelahkan ini, aku capek setelah pengambilan nilai PJK tadi, dan aku capek
setelah membawa makanan kalian berempat yang sebegitu banyak. Kenapa kalian
malah menatapku seperti singa agresif yang anaknya akan kucuri?
Aku berusaha menenangkan diriku dan tetap
tersenyum. Sedangkan sahabat-sahabatku mengomel karena aku terlalu lambat
membelikan makanan untuk mereka. Mereka terlihat seperti singa lapar yang siap
mencabik-cabik seluruh badanku. Seisi kelas pun tercengang kaget melihat kelakuan
sahabat-sahabatku.
Di antara mereka ada yang berbisik-bisik
membicarakanku yang terlihat seperti budak. Rupanya seluruh kelas sudah
menyadari perubahan sikap sahabat-sahabatku terhadapku. Kukira mereka tidak
mempedulikan kami seperti kami yang tidak pernah mempedulikan mereka. Ternyata
aku salah besar. Satu yang ku dapat hari ini, mereka itu terlalu mengurusi
kehidupan kami.
@@@
Aku
sudah muak dengan semua ini, aku lelah selalu dijadikan budak mereka karena aku
terlalu sayang dan tidak punya teman selain mereka. Aku pun memikirkan cara
agar aku bisa kembali seperti dulu. Tiba-tiba terlintas di pikiranku akal busuk
yang mungkin akan mengembalikan teman-temanku dan mengembalikan
kesejahteraanku. Aku teringat bahwa sahabat-sahabatku selalu datang ke rumahku
saat ayah dan ibuku bekerja, mereka tidak pernah melihat ayah dan ibuku.
Kesempatan ini akan kugunakan untuk membalikkan
keadaan.
Aku
berlari ke ruang tamu untuk menemui ibuku, kebetulan ayahku masih di restoran
tempat kerja barunya. Dia diterima menjadi koki dengan ijazah SMK-nya yang
berjurusan Tata Boga. “Bu, Leni capek harus jalan kaki terus ke sekolah. Rumah
kita kan jauh dari sekolah, Bu. Setiap hari Leni harus berangkat jam setengah
tujuh pagi, itu berat banget, Bu” aku menatap ibuku dengan tatapan memelas.
“Lalu kamu mau gimana Len? Kita belum punya uang buat beli sepeda kamu,” ibuku
terlihat bingung. “Leni mau pindah ke rumah Mama Dewi aja Bu, kan lumayan
jaraknya hanya satu kilometer dari sekolahku,” mataku berusaha meyakinkan
ibuku.
Mama Dewi, dia adalah adik dari ibuku. Aku
lebih suka menyebutnya Mama Dewi ketimbang Tante Dewi. Aku dan beliau sangat
akrab seperti ibu dan anak sejak aku kecil. Beliau sudah dua belas tahun
berumah tangga dan belum mempunyai keturunan. Bahkan tanda-tanda kehamilan pun
tidak pernah ditunjukkan oleh perutnya. Makanya beliau sangat menyayangiku dan
menganggapku seperti anaknya sendiri. Beliau sering memintaku ke rumahnya untuk
menemaninya, bahkan seringkali juga aku tidak diperbolehkan pulang dan disuruh
tinggal menetap di sana.
Saat ayah datang, ibuku pun mengutarakan
niatku untuk pindah ke rumah Mama Dewi. Setelah lama berpikir, akhirnya orang
tuaku memperbolehkanku pindah ke rumah Mama Dewi. Selain agar aku tidak
kelelahan lagi, hal itu juga untuk kebahagiaan adiknya yang kerap kali kesepian
karena ditinggal suaminya berbisnis ke luar kota dan luar negeri itu.
@@@
“Teman-teman, kekayaan ayahku udah kembali
lagi, nggak bangkrut lagi. Dan aku udah dapet rumah baru,” aku berbicara
seolah-olah sedang kegirangan dan berusaha membuat omonganku menjadi sangat
meyakinkan. Tepat sekali dengan dugaanku, sahabat-sahabat matreku terlihat
antusias mendengarkan omonganku. Sejak saat itu sikap mereka mulai membaik
kepadaku.
Kira-kira satu minggu setelah perbudakan
dihentikan, teman-temanku bertanya dimana rumahku yang sekarang. “Leni, hari
ini lu dijemput nggak? Gue anterin ya, kita belajar sama-sama di rumah lo,
sekalian mau liat rumah baru lo. Mumpung bensin gue full nih,” Feby terlihat
cengengesan.
Ingin rasanya aku menampar wajah mereka yang
dipenuhi aura penghianat ini. Tapi apa daya, aku sangat menyayangi mereka,
sungguh berat bagiku melepas empat sahabat yang sudah bersamaku sejak SMP ini.
Setibanya di rumah Mama Dewi,
sahabat-sahabatku melongo menatap sekelilingnya, sungguh surga dunia. Mereka
tidak sabar cepat-cepat ke kamarku untuk menikmati kamar surga yang mungkin
belum pernah mereka cium aromanya.
Setelah memasuki kamarku, mereka duduk sambil
memandangi pajangan-pajangan yang merekat erat dinding kamarku. Di sisi kanan dan kiri mereka
terdapat banyak foto kami berlima sejak SMP sampai sekarang. Sepersekian detik
kemudian, mereka terdiam dan menatap lekat-lekat dua tipografi cantik yang
terpajang di dinding tengah kamarku. Pada tipografi yang pertama tertulis, “Tetap
pertahankan sahabat terbaikmu sampai kapan pun selama mereka tidak licik dan
hanya memanfaatkan kelebihanmu”. Sedangkan pada tipografi kedua tertulis, “Tetapi
aku akan mempertahankan sahabatku selicik apapun mereka karena aku sudah
terlalu sayang mereka”
Mereka berempat saling bertukar pandang.
Mungkin mereka sudah sadar bahwa selama ini aku mengetahui kelicikan mereka.
Maya pun angkat bicara, “Len, gue tau yang bikin tipografi itu lo kan? Gue ngaku
gue licik, gue nggak tau lo itu bisa sesabar dan sesayang itu sama kami. Kami
mengira lo itu cuma cewek polos yang begitu mudahnya dimanfaatkan. Kami ngerasa
lo itu nggak pantes gabung jadi temen kami karena kepolosan lo itu. Ternyata
kami salah, ternyata lo gini ke kami karena lo bener-bener sayang kami, bukan
karena lo bodoh. Gue minta maaf ya,” Maya terlihat menitikkan air matanya.
Entahlah, aku pun tak tahu apakah itu air mata sungguhan atau hanya air mata buaya
karena takut kehilangan uangku. Tapi setahuku saat Maya berpura-pura menangis
tidak seperti itu. Mungkin kali ini dia menangis sungguhan.
Aku terkejut, beberapa detik setelah Maya
mengucapkan maaf, Keyla, Feby dan Mega ikut meminta maaf dan memelukku secara
bersamaan. Untuk hari ini aku masih tidak percaya mereka bisa berubah sebegitu
cepatnya.
Sebulan setelah kejadian itu, mereka tetap
bersikap baik kepadaku dan tak pernah lagi menuntut traktiran. Mungkin mereka
sudah benar-benar baik dan berubah berkat tipografiku. Tapi sampai detik ini
aku tidak akan memberitahu bahwa itu adalah rumah Mama Dewi, bukan rumahku yang
sebenarnya. Aku tidak ingin perbudakan itu kembali lagi ke kehidupanku.
==Selesai==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar